Senin, 26 November 2012

Cepen Bertemakan Binatang

Pertunjukan Istimewa Seekor Cecak

Karya: Soekanto SA

Aku seekor cecak. Kecil, biasa merayap di langit-langit rumah. Di tembok. Aku memang binatang merayap. Karena itu tak usah heran jika aku pandai merayap. 
     Binatang yang termasuk bangsaku tidak mengecewakan: Ular, buaya, kura-kura, kadal..... dan yang terkenal di dunia karena hanya ada di Indoesia: komodo.
     Tetapi aku tidak sombong. Aku selalu rendah hati. Berdiam diri di langit-langit rumah. Sampai ada nyamuk mendekat. Kusambarlah bila demikian. Dan aku dengan tenang makan pagi, siang, atau malam.
     Kehidupanku berbahagia. Kalau saja tidak ada Dodong, Cecep, dan Acung.
     Aku sendirian heran, mengapa mereka begitu nakal? 
     Dan mengapa aku yang menjadi sasarannya?
     Aku tinggal di langit-langit rumah Dodong.
     Sore itu Acung datang membawa karet bekas ban dalam sepeda. Di gunting-guntingnya karet itu hingga merupakan tali yang masih panjang-panjangnya dua puluh sentimeter. 
     Ketika mereka asik menggunting karet itu aku tak tahu untuk apa sebetulnya.
     Sampai akhirnya Cecep mengambil seutas. 
     Menariknya hingga mulut karet itu. Dilepaskan dan, "Tap...." 
     Hampir saja, ya hampir saja mengenai tubuhku. 
     Aku cepat merayap mencari persembunyian.
     Cecep tertawa-tawa mengatakan pengalamannya kepada keuda kawannya. 
     Selesai menggunting-gunting karet itu, Dodong menyimpan guntingnya. 
     "Ayo, peperangan dimulai..."
     "kita cari lalat...," kata Cecep.
     "Sudah sore tak ada lalat...," kata Acung.
     Kegembiraanku hilang. Memang sore hari tak ada lalat. Yang ada nyamuk. Dan tentu saja cecak-cecak sebangsa kami yang ingin mendapatkan seekor dua ekor nyamuk. 
     "Cecak saja dong...," kata Acung.
     Aku bersedih. Bersembunyi di balik kap lampu. 
     Anak-anak hanya menggangu kententraman kami saja, kalian. 
     "Siapa yang bisa mengenai buntutnya hingga jatuh... dapat jatuh." 
     Aduh pikirku. Terlalu anak-anak. Kejam mereka itu. 
     Ekor kami biasanya hanya kami lepaskan bila kami benar-benar dalam bahaya. Untuk mengecoh musuh-musuh kami. Tetapi kali ini akan menjadi bahan tertawaan. Oh, anak-anak yang suka menyiksa!
     Tetapi aku ingat pesan ayah-indukku. Pertahankan hidupmu. Ya, aku akan mempertahankan. Melalui tali lampu aku mendekati kawanku. Kuberitahu kepada mereka akan datangnya bahaya. Mereka ada yang ketakutan. Tetapi ada pula yang tidak mempercayaiku. 
     "Biarlah...," pikirku. "Jika mereka, kawan-kawanku, tidak percaya keapdaku."
     "Tap....," seutas karet mengenai langit-langit rumah. 
     "Jangan ngawur nembaknya Cung...!" kata Dodong. 
     "Masing-masing anak boleh menembak sepuluh kali. Siapa yang terbanyak hasilnya, juara..." 
     Cecak-cecak kebanyakan bersembunyi.
     Aku sendiri terlambat menyembunyikan diri. 
     Melalui tembok aku merayap cepat, ingin bersembunyi lagi di kap lampu. 
    Untunglah Dodong dan kawan-kawannya tidak melihatku. 
    Mereka kesal karena tidak melihat seekor cecak pun.
    Kukira saatnya tiba untuk menjalankan rencanaku. Yah, mengapa aku harus selalu bersembunyi, dikejar-keajar? Bukankah kami tidak bersalah?
    Aku menampkan diri. Cepat Cecep membidikkan karetnya. 
   "Kena kau...!?" 
   Tentu saja tidak kena. Aku membohongi mereka dengan gerak tipu. Ah, sedikit ilmu silat cecak yang kupelajari dari kakekku. 
   "Lekas Cep, giliranku. Pasti kena.." 
   Acung membidik. "Tap...," tetapi hanya angin yang kena. Aku enak-enakan merayap. Mereka menjadi jengkel.
   "Aku sekarang..," kata Dodong 
   "Puh...," ditiupnya karetnya, dibidikkan dan, "Tap...."
   Aku tidak kena, merayap terus pada tali lampu menuju kap. 
   Dodong yang merasa kecewa kulihat lari ke belakang. Kemabali membawa ragbal (sapu dengan tangkai yang panjang) yang biasa digunakan untuk membersihkan laba-laba.
   "Permainnya yang tidak jujur...," kataku kepada kawan-kawanku yang tetap bersembunyi. 
   "Lihat saja pembalasanku..." 
   Ketika Dodong mengarahkan sapunya kepadaku, aku meloncat ke injuk sapu. Terus merayap melalui tangakai, loncat ke dadanya. 
   Dodong ribut. Dibukannya bajunya. Singletnya. Aku telah lari ke celananya. 
   Dodong cepat membuka sabuknya. Celananya. Ia geli karena aku bergerak-gerak terus merayapi tubuhya. Lepas dari celananya aku merayap ke tembok. Cepat. 
   Dodong kulihat telanjang bulat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar